artikel
Khazanah
BULETIN JUM'AT TAHUN 2 EDISI 15 - MENGAMBIL KEBIJAKAN DENGAN MUSYAWARAH MUFAKAT
Bila diperhatikan dengan seksama fakta yang ada di tengah masyarakat seperti tata-cara perkawinan, sistem kekerabatan, kedudukan tanah pusaka tinggi, peranan Niniak-Mamak dan penghulu, kiranya kita pasti masih dapat membaca konsep-konsep hidup dan kehidupan yang ada dalam pikiran nenek-moyang kita Minangkabau yang sudah turun-menurun sejak duhulu kala itu.
Dari konsep-konsep itu, kita juga dapat memastikan tujuan hidup yang ingin mereka capai, yaitu “ bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak.” Rumusan kemakmuran ini, agaknya sama dengan visi masyarakat umum di zaman sekarang, yaitu “damai, makmur, ceria, tenang dan berkah”, seperti yang diidam-idamkan oleh seorang Muslim yaitu "Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Gafuur". Suatu masyarakat yang aman damai dan selalu dalam pengampunan Allah Swt.
Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin kita bisa mengupayakan kehidupan yang lebih makmur di masyarakat. Dengan bahasa kekinian dapat dikatakan bahwa; “bila stabilitas politik telah tercapai, barulah kita mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi, budaya dan lain-lainnya.
Tangga kemakmuran itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, lingkungan masyarakat, dan terus keatas sehingga tercapainya Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Semuanya itu akan dapat dicapai bersama melalui pengambilan kebijakan yang tepat dan benar.
Salah satu sikap masyarakat Minangkabau dalam pengambilan kebijakan adalah dengan "sakato" atau se iya-sekata yang ditempuh melalui syura atau musyawarah mufakat.
Adagium “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah” adalah dasar tolak ukur dari sifat seseorang dalam mengambil kebijakan yang menyangkut dengan hajat hidup bersama itu. Pepatah lainnya adalah “Syara’ mangato adat mamakai, Adat babuhuah sintak Syarak babuhuah mati”. Artinya semua kesepakatan yang dihasilkan mesti di dalam garis Islam. Jadi tidak boleh ada musyawarah mufakat yang digunakan untuk mencari keputusan dalam kemaksiatan dan menghancurkan sendi-sendi aqidah dan syarak.
Musyawarah mufakat ini sangat tinggi kedudukannya di mata adat, sehingga keluarlah pepatah yang mengatakan; “Jikok kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mufakat, mufakat badiri sandirinyo”.
Kitabullah Al-Qur’an telah menjadi hudan atau petunjuk dalam setiap segi realitas kehidupan kita. Salah satu petunjuk dari Al- Qur’an itu adalah mengenai ajaran musyawarah.
Musyawarah sangat diperlukan dalam kehidupan bersama, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun masyarakat, mulai dari perkumpulan kecil sampai kepada lembaga antar bangsa, dan itu ada aturannya dalam Islam. Musyawarah juga memiliki posisi mendalam dalam kehidupan Islam. Bukan hanya di dalam sistem politik pemerintahan, namun juga merupakan karakter dasar umat Muslim itu sendiri.
Makna dari istilah musyawarah ini sangat padat dan telah mengalami evolusi pula dalam pengertiannya. Seperti yang dijelaskan Hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem Republik, Demokrasi, Parlemen, sistem Perwakilan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek- aspek lain merupakan suatu indikasi bahwa ayat- ayat tentang musyawarah sangat mengakar dan mendasar.
Mengenai kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al-Quran telah menceritakan bahwa syura juga telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 digambarkan mengenai cara musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar kaumnya guna mencari solusi terhadap nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah
Ta’ala berfirman;
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. [Ali ‘Imran : 159].
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. [Asy Syura : 36-39].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan dalam organisasi
maupun dalam pemerintahan.
As-Syura menjadi nama pada salah satu surah yang terdapat di dalam al-Quran. Hal itu menggambarkan begitu pentingnya As-Syura atau musyawarah di dalam Islam.
Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta
mengikuti atsar (dalil).
Maka celakalah bagi orang yang “Ma aden bakato surang, kalau indak di awak indak lalu” maksudnya; orang yang suka berpendapat sendiri dan tidak menerima pendapat orang lain.
Orang ini, akan merasa terhina bila ia minta pendapat kepada orang lain, apalagi kalau orang itu adalah bawahannya. Ia sangat terhina rasanya bila ia mengerjakan ide orang lain, seakan-akan dia tidak punya fikiran, hanyalah sebagai buruh mengerjakan ide orang lain. Biasanya orang yang
seperti ini bersifat individualis.
Untuk keperluan diri sendiri saja, ada hal-hal yang mesti dimusyawarahkan dengan orang lain, apa lagi perkara yang menyangkut dengan hajat hidup orang banyak.
Artinya: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS. Al- Syura: 38)
Kita paham pula bahwa dalam hidup berkelompok akan menemui silang-selisih dalam berpendapat, akan ada marah dan sengketa dalam kebijakan. Itu wajar saja, biasa, dibawa senyum saja.
Antaro sanduak jo periuk ndak akan pernah sunyi, selalu ado kegaduhan di dapur. Kadang kala, bagaduah itu untuak palamak makan. Basilang kayu di dalam tungku, disinan api mangkonyo iduik. Asal jan marusak hati sajo, cukuik disudahi jo maaf di hati nan suci jo muko nan janiah, samo dianyuik ka ayia iliah, dibuang ka tanah lakang. Digantuangan tinggi-tinggi, dikubuakan dalam-dalam.
Dari konsep-konsep itu, kita juga dapat memastikan tujuan hidup yang ingin mereka capai, yaitu “ bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak.” Rumusan kemakmuran ini, agaknya sama dengan visi masyarakat umum di zaman sekarang, yaitu “damai, makmur, ceria, tenang dan berkah”, seperti yang diidam-idamkan oleh seorang Muslim yaitu "Baldatun Tayyibatun wa Rabbun Gafuur". Suatu masyarakat yang aman damai dan selalu dalam pengampunan Allah Swt.
Dengan adanya kerukunan dan kedamaian dalam lingkungan kekerabatan, barulah mungkin kita bisa mengupayakan kehidupan yang lebih makmur di masyarakat. Dengan bahasa kekinian dapat dikatakan bahwa; “bila stabilitas politik telah tercapai, barulah kita mungkin melaksanakan pembangunan ekonomi, budaya dan lain-lainnya.
Tangga kemakmuran itu dimulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, lingkungan masyarakat, dan terus keatas sehingga tercapainya Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafuur. Semuanya itu akan dapat dicapai bersama melalui pengambilan kebijakan yang tepat dan benar.
Salah satu sikap masyarakat Minangkabau dalam pengambilan kebijakan adalah dengan "sakato" atau se iya-sekata yang ditempuh melalui syura atau musyawarah mufakat.
Adagium “Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah” adalah dasar tolak ukur dari sifat seseorang dalam mengambil kebijakan yang menyangkut dengan hajat hidup bersama itu. Pepatah lainnya adalah “Syara’ mangato adat mamakai, Adat babuhuah sintak Syarak babuhuah mati”. Artinya semua kesepakatan yang dihasilkan mesti di dalam garis Islam. Jadi tidak boleh ada musyawarah mufakat yang digunakan untuk mencari keputusan dalam kemaksiatan dan menghancurkan sendi-sendi aqidah dan syarak.
Musyawarah mufakat ini sangat tinggi kedudukannya di mata adat, sehingga keluarlah pepatah yang mengatakan; “Jikok kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka Pangulu, Pangulu barajo ka mufakat, mufakat badiri sandirinyo”.
Kitabullah Al-Qur’an telah menjadi hudan atau petunjuk dalam setiap segi realitas kehidupan kita. Salah satu petunjuk dari Al- Qur’an itu adalah mengenai ajaran musyawarah.
Musyawarah sangat diperlukan dalam kehidupan bersama, baik dalam ruang lingkup keluarga maupun masyarakat, mulai dari perkumpulan kecil sampai kepada lembaga antar bangsa, dan itu ada aturannya dalam Islam. Musyawarah juga memiliki posisi mendalam dalam kehidupan Islam. Bukan hanya di dalam sistem politik pemerintahan, namun juga merupakan karakter dasar umat Muslim itu sendiri.
Makna dari istilah musyawarah ini sangat padat dan telah mengalami evolusi pula dalam pengertiannya. Seperti yang dijelaskan Hamka bahwa evolusi itu terjadi sesuai dengan perkembangan pemikiran, ruang dan waktu. Dewasa ini, pengertian musyawarah dikaitkan dengan beberapa teori politik modern, seperti sistem Republik, Demokrasi, Parlemen, sistem Perwakilan dan berbagai aspek yang berkaitan dengan sistem pemerintahan. Keterkaitan musyawarah dengan aspek- aspek lain merupakan suatu indikasi bahwa ayat- ayat tentang musyawarah sangat mengakar dan mendasar.
Mengenai kehidupan bermasyarakat dan bernegara, Al-Quran telah menceritakan bahwa syura juga telah dilakukan oleh kaum terdahulu seperti kaum Sabaiyah yang dipimpin oleh ratu Balqis. Pada surat an-Naml ayat 29-34 digambarkan mengenai cara musyawarah yang dilakukan oleh Balqis dan para pembesar kaumnya guna mencari solusi terhadap nabi Sulaiman ‘alaihissalam.
Demikian pula Allah telah memerintahkan rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam untuk bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam setiap urusan. Allah
Ta’ala berfirman;
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Di dalam ayat yang lain, di surat Asy Syura ayat 38, Allah Ta’ala juga berfirman yang artinya:
Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Rabb-nya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. [Asy Syura : 36-39].
Seluruh ayat al-Quran di atas menyatakan bahwasanya syura (musyawarah) disyari’atkan dalam agama Islam, bahkan sebagian ulama menyatakan bahwa syura adalah sebuah kewajiban, terlebih bagi pemimpin dan penguasa serta para pemangku jabatan dalam organisasi
maupun dalam pemerintahan.
As-Syura menjadi nama pada salah satu surah yang terdapat di dalam al-Quran. Hal itu menggambarkan begitu pentingnya As-Syura atau musyawarah di dalam Islam.
Amirul Mukminin, ‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu juga pernah menerangkan manfaat dari syura. Beliau berkata, “Ada tujuh keutamaan syura, yaitu memperoleh solusi yang tepat, mendapatkan ide yang brilian, terhindar dari kesalahan, terjaga dari celaan, selamat dari kekecewaan, mempersatukan banyak hati, serta
mengikuti atsar (dalil).
Maka celakalah bagi orang yang “Ma aden bakato surang, kalau indak di awak indak lalu” maksudnya; orang yang suka berpendapat sendiri dan tidak menerima pendapat orang lain.
Orang ini, akan merasa terhina bila ia minta pendapat kepada orang lain, apalagi kalau orang itu adalah bawahannya. Ia sangat terhina rasanya bila ia mengerjakan ide orang lain, seakan-akan dia tidak punya fikiran, hanyalah sebagai buruh mengerjakan ide orang lain. Biasanya orang yang
seperti ini bersifat individualis.
Untuk keperluan diri sendiri saja, ada hal-hal yang mesti dimusyawarahkan dengan orang lain, apa lagi perkara yang menyangkut dengan hajat hidup orang banyak.
وَٱلَّذِينَ ٱسْتَجَابُوا۟ لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَىٰ بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ
Kita paham pula bahwa dalam hidup berkelompok akan menemui silang-selisih dalam berpendapat, akan ada marah dan sengketa dalam kebijakan. Itu wajar saja, biasa, dibawa senyum saja.
Antaro sanduak jo periuk ndak akan pernah sunyi, selalu ado kegaduhan di dapur. Kadang kala, bagaduah itu untuak palamak makan. Basilang kayu di dalam tungku, disinan api mangkonyo iduik. Asal jan marusak hati sajo, cukuik disudahi jo maaf di hati nan suci jo muko nan janiah, samo dianyuik ka ayia iliah, dibuang ka tanah lakang. Digantuangan tinggi-tinggi, dikubuakan dalam-dalam.
Ini adalah isi buletin Jum'at CV. Barito Minang Edisi: 15 Tahun II / 5 Rajab 1436 H / 24 April 2015 M
Via
artikel
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.