Arsip
Oleh: Nining Erlina Fitri
Data Base Sosial Budaya Canduang Koto Laweh
Data Base Sosial Budaya
Nagari Canduang Koto Laweh
Kecamatan Canduang
Kab.Agam
Nagari Canduang koto laweh terletak di kaki Gunung Merapi, gunung yang masih aktif di Sumatera Barat dengan luas wilayah 2690 ha. Batas wilayah sebelah Selatan adalah gunung Merapi, sebelah Timur berbatasan dengan daerah Tabek Panjang/Koto Tinggi, Kecamatan Baso. Batas sebelah Utara adalah daerah Panampuang, Kecamatan IV Angkek, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Lasi.
Topografi wilayah berbentuk perbukitan 9@f / pegunungan, Kondisi geografis nagari Canduang Koto Laweh terletak pada ketinggian 999m diatas permukaan laut, curah hujan rata – rata 97,97Mm dengan suhu rata – rata 20’ 40,32oC. Kondisi daerah yang terletak pada ketinggian dengan suhu yang cukup dingin menyebabkan terkenalnya Canduang Koto Laweh sebagai daerah penghasil sayur – sayuran.
Nagari Canduang Koto Laweh merupakan gabungan dari sebelas (11) jorong dulunya desa:
1. Jorong Canduang Guguak Katiak
2. Jorong XII Kampuang
3. Jorong Labuang
4. Jorong Puti Ramuih
5. Jorong Bingkudu
6. Jorong 100 Janjang
7. Jorong Gantiang Koto Tuo
8. Jorong Lubuak Aua
9. Jorong Batu Balantai
10. Joron III Suku
11. Jorong III Kampuang
Nagari di kepalai oleh seorang wali nagari (setingkat Kepala Desa di Jawa), sedangkan masing – masing Jorong di atur oleh Kepala Jorong yang menurut Undang – undang Otonomi daerah sebenarnya hanya bertugas sebagai pembantu Wali nagari dalam melaksanakan tugasnya. Tapi pada kenyataannya di nagari Canduang Koto Laweh, Wali Jorong mempunyai wewenang yang cukup besar dalam mengatur dan menyelesaikan segala macam persoalan yang ada di wilayahnya. Wali Nagari dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat nagari yang bersangkutan, sedangkan kepala Jorong dipilih berdasarkan musyawarah Niniak Mamak (Penghulu) di Jorong Bersangkutan.
Masing – masing jorong memiliki ciri dan karakteristik sendiri. Di beberapa jorong budaya dan adat Minangkabau masih sangat kental, dipakai dalam kehidupan sehari – hari tapi di beberapa daerah justru semakin pudar. Perbedaaan yang sangat mencolok terdapat pada perbedaan luas wilayah dan jumlah penduduk serta dari segi pembangunan. Jorong yang berjarak cukup jauh dari pusat pemerintahan nagari seringkali terbaikan dalam proses pengambilan keputusan.
Nagari memiliki beberapa lembaga yang menyokong jalannya pemerintahan nagari, semua lembaga Nagari berkedudukan di Balai Sati tak terkecuali lembaga legislative Nagari yaitu BPRN. Lembaga – lembaga Nagari di Nagari Canduang Koto Laweh merupakan bentukan dari Wali Nagari beserta Stafnya yang di bentuk berdasarkan petunjuk dari atasan (pemda Agam), karena di bentuk bukan atas kebutuhan warga Nagari, lembaga – lembaga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam prakteknya pembentukan lembaga – lembaga ini beserta pengurusnya tak pernah di musyawarahkan dengan warga nagari. Tak ubahnya seperti masa pemerintahan desa, nagari belum bisa dikatakan sebagai suatu daerah yang otonom sesuai dengan UU otonomi daerah.
Pemerintahan Nagari Canduang Koto Laweh sebagai kesatuan pemerintahan terkecil terlihat agak kebingungan dalam menjalankan roda pemerintahan Nagari karena beberapa tahun ini adalah masa peralihan dari pemerintahan desa menjadi pemerintahan Nagari. Fungsi Pemerintahan nagari saat ini masih terbatas pada fungsi – fungsi administrasi. Belum ada kemajuan atau perubahan yang mencolok (inovatif) yang telah di lakukan oleh Wali Nagari dan Stafnya di Nagari. Kegiatan – kegiatan Nagari dijalankan sesuai dengan program yang telah di gariskan dari Pemda Agam. Musyawarah Pembangunan Nagari memang selalu diadakan, minimal satu kali dalam setahun tapi musywarah ini dalam pelaksanaannya hanya membahas soal pembangunan fisik ( jalan) dan cendrung asal –asalan saja ( asal Bapak Senang ).
Masa peralihan pemerintahan dari Desa ke Nagari adalah masa yang sangat sulit, karena tidak semua orang memahami konsep kembali ke Nagari. Wali Nagari beserta staf dan masyarakat Canduang Koto Laweh selalu bertanya : Kembali ke Nagari yang Mana? Selain itu Pemerintah tidak benar – benar memberikan otonomi (wewenang) kepada Nagari untuk mengatur dirinya sendiri. Bisa dikatakan kebijakan kembali ke Nagari yang diperkuat dengan PERDA No. 9 tahun 2000 adalah kebijakan yang setengah hati.
Selama kurang lebih tiga puluh tahun sistem Pemerintahan Desa telah berhasil merusak dan menghancurkan nilai – nilai kearifan lokal Nagari termasuk tatanan hidup komunitas. Dan berhasil merubah budaya dan kebiasaan yang dulu pernah ada. Meminggirkan peran niniak mamak dan penghulu dalam setiap pengambilan keputusan.
I. Kondisi Demografi
a. Suku Bangsa
Terdapat banyak suku di Nagari Canduang Koto laweh, diantaranya : Guci, Jambak, Melayu, Koto, Pili, Caniago, Sikumbang dan lain – lain. Suku – suku diatas menganut paham dari dua kelarasan Minangkabau yaitu kelarasan Koto piliang dan Kelarasan Bodi Caniago. Nagari Canduang Koto Laweh adalah Nagari yang sangat heterogen dan sangat kompleks. Peraturan – peraturan yang menyangkut peraturan adat diatur oleh lembaga adat yaitu Kerapatan Adat Nagari Canduang Koto Laweh. Saat ini beberapa suku di Nagari Canduag Koto Laweh tidak lagi memiliki Penghulu karena ketidak sanggupan Kaum dari suku yang bersangkutan untuk mengangkatnya. Kondisi ini juga merupakan imbas dari di berlakukannya Undang – Undang No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
- Bahasa
Bahasa yang di gunakan dalam kehidupan sehari – hari adalah bahasa Minangkabau. Dengan logat Canduang Koto Laweh, yang tidak jauh berbeda dengan logat Minangkabau yang di pakai di Luhak Agam, hanya berbeda dalam beberapa bunyi ujaran.
- Agama
Penduduk Nagari Canduang Koto Laweh 100 % menganut agama Islam. Beberapa suarau melaksanakan ajaran tarekat Naqsbandiyah dimana penganutnya di wajibkan mengikuti ritual suluk setiap bulan Ramadhan.
- Pendidikan
Tingkat pendidkan di Nagari Canduang Koto Laweh sudah cukup tinggi, dari 11.338 orang penduduknya 5 orang telah menamatkan S3, 14 Orang S2, 292 Orang S1, 117 orang tamatan akademi (DIII), 2586 orang tamat SLTA, 2674 orang tamat SLTP, 3975 orang tamat SD, 1485 Orang tidak tamat SD, dan 99 Orang Buta aksara dan Angka.
Pendidikan ini di dapatkan oleh laki – laki dan perempuan secara adil. Penduduk Nagari Canduang Koto Laweh yang berpendidikan tinggi jarang yang menetap dan tinggal di kampung, kebanyakan dari mereka setelah menamatkan pendidikan tinggi memilih untuk pergi merantau. Telah menjadi budaya di nagari ini bahwa setelah menamatkan pendidikan tinggi harus mencari pekerjaan sesuai dengan pendidikan tersebut yang hanya bisa di dapatkan di rantau. Jika ada beberapa orang yang masih menetap di Kampung biasanya akan di suruh oleh keluarganya untuk pergi, dan dalam pergaulan di nagaripun mereka cendrung di abaikan, karena dianggap ilmunya bukanlah ilmu yang bisa digunakan untuk orang – orang di Nagari. Menurut mereka ilmu perguruan tinggi hanya bisa di praktekkan di tempat kerja bukan di tengah – tengah masyarakat. Penduduk yang berpendidikan tinggi ini membentuk sebuah Yayasan Pembangunan Anak Nagari sebagai wadah untuk mempertemukan mereka dengan warga yang ada di kampung halaman.
- Pekerjaan.
Umumnya pekerjaan Masyarakat nagari Canduang Koto Laweh yang menetap di kampung adalah Bertani, baik di lahan sawah maupun di ladang. Untuk keperluan bertani ini, warga yang sangat dekat dengan Gunung Merapi sudah mulai membuka lahan di sekitar gunung tersebut untuk bercocok tanam. Kegiatan membuka lahan ini sangat berbahaya bagi lingkungan alam mengingat bencana yang akan di timbulkannya di kemudian hari, saying sekali nagari belum mempunyai aturan yang melindungi sumber daya Hutannya tersebut.
Dua tahun belakangan kehidupan pertanian di Nagari ini sangat memprihatinkan. Sebelumnya, nagari ini terkenal sebagai penghasil tanaman cabe dan tanaman tomat, namun kedua jenis tanaman yang biasa di tanam oleh petani ini terserang hama virus kuning yang sangat ganas. Daerah Canduang Koto Laweh adalah daerah serangan yang paling parah. Kemudian petani beralih menanam Padi, yang hasilnya sangat minim bila di bandingkan dengan hasil yang di dapat jika petani menanam kedua jenis tanaman diatas. Nilai jual tanaman Padi sangat rendah sementara biaya produksi sangat tinggi disebabkan kenaikan harga pupuk di pasaran, Rp 90.000 – Rp 100.000 per zak. Sistem pertanian juga masih sangat konvensional namun beberapa kelompok petani sudah mulai perlahan – lahan menerapkan system pertanian Organik dalam pola tanam mereka.
II. Sarana dan Prasarana
a. Pendidikan
Di nagari Canduang Koto Laweh terdapat banyak sekali sekolah. Hampir di tiap jorongnya terdapat sekolah dasar dan sekolah mengeh pertama. Nagari Canduang Koto Laweh terkenal sebagai pencetak calon Alim Ulama untuk daerah Sumbar, Jambi, dan Riau.
b. Kesehatan
Sarana kesehatan berupa puskesmas terletak cukup jauh dari Nagari Canduang Koto Laweh, yaitu sekitar 3 Km. Dan di tiap jorong terdapat Polindes – polindes yang langsung melayani masyarakat jorong bersangkutan. Selain itu warga juga cendrung menggunakan pengobatan tradisional jika mereka atau anggota keluarganya sakit mengingat biaya yang di keluarkan akan sangat tinggi jika mereka berobat ke puskesmas atau ke polindes.
c. Agama
Sarana Ibadah terdapat di tiap Jorong baik berupa mesjid maupun mushalla. Selain itu Sekolah – sekolah TPA dan MDA juga menyebar di tiap jorong.
d. Perhubungan
Sarana transportasi dari Nagari Candung Koto Laweh ke luar daerah cukup banyak terutama yang menghubungkan nagari ini dengan kota Bukittinggi, Cuma belum memiliki jadwal yang teratur dan sangat mahal. Selain itu ada juga kelompok transportasi berupa ojek dari simpang Canduang ke daerah – daerah di sekitar Nagari Canduang Koto Laweh. Jalan – jalan yang menghubungkan satu jorong dengan jorong lainnya cukup bagus, dan sudah diaspal secara layak dan memadai. Hanya beberapa jalan di dalam tiap jorong masih kurang bagus. Biasanya jalan – jalan di dalam jorong dibangun secara mandiri oleh warga jorong yang bersangkutan.
e. Informasi dan Telekomunikasi
Sarana Informasi yang tersedia di Nagari Canduang Koto Laweh sudah sangat lengkap, masing – masing rumah sudah memiliki televise dan hampir seperempat dari rumah – rumah di nagari Canduang Koto Laweh sudah memiliki telepon sebagai alat komunikasi. Dengan berkembangnya teknologi Informasi dewasa ini bisa di pastikan hampir tiap rumah memiliki sarana telekomunikasi berupa ponsel. Di salah satu sekolah yaitu di Tarbiyah Islamiyah Canduang juga telah terpasang teknologi Informasi terbaru yaitu Internet.
f. sumber Air Bersih
Air bersih yang di gunakan dalam kehidupan sehari – hari brasal dari berbagai mata air yang terdapat di daerah ini. Mayarakat di Nagari ini cendrung menggunakan tempat pemandian umumsebagai sarana Mandi, Cuci, Kakus. Sarana ini disediakan secara swadaya oleh masing – masing jorong yang bersangkutan. Selain itu di beberapa tempat juga disediakan tempat pengambilan air bersih. Beberapa keluarga telah mulai mempraktekkan pembuatan sanitasi sendiri di rumah – rumah mereka dengan menggali sumur – sumur artesis di sekitar rumah mereka.
g. Sarana Olahraga
Terdapat Satu buah Lapangan Bola kaki, beberapa lapangan Volli. Petani pada umumnya jarang sekali yang melakukan kegiatan olahraga sebagai pengisi waktu luang. Apalagi belakangan ini dengan meningkatnya kebutuhan hidup dan menurunnya daya beli petani bahkan tidak punya waktu luang untuk berolahraga maupun beristirahat.
h. Tempat pertemuan umum
Dalam memenuhi kebutuhan bersosialisasi dan berinteraksi sesama mereka(warga) dilakukan di Surau, tempat pemandian umum dan di beberapa warung yang terdapat di Nagari Candunag Koto Laweh. Tempat pertemuan untuk melakukan musywarah biasanya di lakukan di kantor wali Nagari, kantor Wali Jorong maupun di suaru atau mesjid.
i. Perekonomian
Kegiatan perkonomian (jual Beli) hanya terjadi di warung – warung, dulunya ada pasar nagari yang mewadahi proses jual beli ini namun saying asat ini karena kurang di kelola dengan baik oleh desa sewaktu pemerintahan desa pasar nagari tersebut akhirnya mati. Tidak aktifitas yang menonjol dalam perekonomian. Terdapat lembaga koperasi namun jalannya juga setengah – setengah tanpa program yang jelas. Perekonomian nagari selain dari sector pertanian juga di topang oleh sector perdagangan dimana beberapa warga nagari melakukan kegiatan usaha perdagangan seperti konveksi, ukiran dan lain – lain.
III. Potensi Alam
- Bidang Pertanian.
Cuaca yang sangat mendukung untuk menanam berbagai jenis tanaman sayuran (hortikultura), lahan – lahan pertanain yang cukup luas walau tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang ada. Daerah ini juga berpotensi sebagai daerah pengembangan usaha – usaha peternakan terutama sapi.
- Pariwisata
Didaerah ini terdapat potensin pariwisata Panorama Alam Bukik Bulek dan Panorama Alam Batu Sampik.
IV. Kondisi Budaya Masyarakat
- Konsepsi tentang Alam semesta.
Dulunya masyarakat masih beranggapan beberpa temapat di nilai keramat dan sakti, sekarang anggapan dan nilai – nilai menggaibkan segala sesuatu yang ada di alam sudah sanagt berkurang bahkan cendrung menghilang seiiring dengan perubahan Zaman.
- Tradisi yang di kembangkan.
Tradisi gotong royong telah mulai hilang, seiring dengan berkembangnya budaya materilistik di tengah – tengah masyarakat. Tradisi berkelompok sudah mulai di kembangkan Cuma sayang semangat berkelompok hanya sebatas untuk mendapatkan dana Bantuan dari pemerintah. Beberapa kelompok akhir – akhir ini telah memulai sendiri usaha mandiri yang tetap di dukung oleh pemerintah pada taqhap perkembangannya.
- Tokoh Masyarakat
Dengan di berlakukannya Undang – undang tentang pemerintahan Desa, tokoh – tokoh yang menjadi panutan masyarakat mulai hilang dan sangat sukar untuk mengidentifikasi orang – orang yang dianggap tokoh di dalam masyarakat. Bergesernya nilai – nilai dari Komunal menjadi nilai – nilai individual juga merupakan salah satu factor yang memupus penokohan seseorang dalam masyarakat nagari.
- Relasi Gender
Hubungan yang di bangun antara laki – laki dan perempuan di nagari Canduang Koto Laweh sangat kental dengan budaya Patriarki, meskipun dalam tatanan adapt Minagkabau manganut system matiarki. Beban ganada dan diskriminasi diterima perempuan sebagai suatu yang telah menjadi kodratnya hal ini juga berlaku pada perempuan – perempuan yang telah mendapatkan pendidikan cukup tinggi. Ketiadak adilan gender ini di pupuk sejak dari kecil melalui pendidikan keluarga yang sangat membedakan antara laki – laki dan perempuan. Dalam Musywarah adat perempuan tidak layak untuk diikutsertakan karena dianggap tidak becus berfikir dan selalu menggunakan emosi (perasaaan). Beban Ganda hampir di derita oleh tiap perempuan di Nagari ini.
Karena begitu kompleksnya permasalahan di Nagari, maka pada awal 2006 saya memilih Jorong Gantiang Koto Tuo sebagai titik tolak kegiatan pengorganisasian. Dengan anggapan, keberhasilan di satu Jorong akan berimbas ke Jorong lainnya.
Jorong Gantiang Koto Tuo adalah salah satu dari sebelas Jorong di Nagari Canduang Koto Laweh terletak diantara Jorong Batu Balantai, Lubuk Aur, Bingkudu dan Jorong Canduang Guguak Katiak. Dari 250 KK yang ada di Gantiang Koto Tuo, 70 KK dikategorikan miskin. Mata Pencaharian utama penduduk adalah bertani. Rata – rata warga masyarakat telah menamatkan pendidikan setingkat SMA. Warga yang menamatkan Pendidikan Tinggi cukup banyak, tapi mereka tidak lagi berada di kampung.
Sekitar tahun 1999-2004 kegiatan bertani hortikultura berhasil menopang perekonomian Jorong Gantiang Koto Tuo. Pada awal 2005 petani mulai kecewa dengan hasil yang mereka dapatkan dari pertanian. Hal ini di sebabkan karena timbulnya hama penyakit yang menyerang tanaman Cabe, dan Tomat. Sampai saat ini penyakit tanaman yang di sebabkan oleh virus Gemini ini belum diketahui obatnya. Karena Budidaya Hortikultura tidak lagi menguntungkan petani di Jorong beralih menanam padi. Biasanya mereka menanam padi hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga saja tapi belakangan, mereka menanami semua lahan pertaniannya dengan padi.
Lokasi lahan pertanian dapat di bagi kedalam lima kelompok besar : Lakuang, Lurah, Obay, Tungguak, dan Sawah Lakang. Empat areal lahan pertanian (Lakuang, Obay, Tungguak dan Sawah Lakang) mengalami ketergantungan terhadap pupuk dan obat – obat kimia buatan pabrik termasuk bibit – bibit hasil persilangan. Berbeda dengan di Lurah, yang hanya bisa ditanami dengan padi bibit lokal saja. Kondisi tanah di Lurah sangat membantu masyarakat untuk tetap mempertahankan benih – benih lokal. Untuk memenuhi kebutuhan benih padi, petani biasanya mendapatkan benih tersebut dengan sistem barter (tukar) antar petani.
Beberapa waktu belakangan, tergiur dengan promosi toko pertanian petani cabe dan Tomat mulai menggunakan bibit – bibit hibrida yang harganya sangat mahal selain itu bibit lokal Cabe dan Tomat sudah tidak di temukan lagi.
Jorong Gantiang Koto Tuo memiliki sebuah sistem adat (musyawarah) untuk penyelesaian persoalan dan masalah yang terjadi di Jorong. Sistem. Sistem yang terkenal dengan sebutan bajanjang naiak batanggo turun artinya setiap masalah yang terjadi di Jorong harus di selesaikan di tingkat paling rendah terlebih dahulu baru kemudian ke tingkat yang lebih tinggi. Gantiang Koto Tuo bila dilihat dari sistem adat terdiri dari dua Umpuak (umpuak Gantiang dan Umpuak Koto Tuo) yang di kepalai oleh Tuangku Ampek) yang terbagi kedalam suku Jambak, Guci, Caniago, dan Sikumbang. Secara sosial Masyarakat Jorong Gantiang Koto Tuo terdiri 8 kampuang yang di kepalai oleh 8 Niniak Mamak (Niniak Mamak Nan Salapan Kampuang) Kampuang disini tidak menunjuk kepada wilayah tapi lebih kepada dua/tiga suku (kaum) yang bersepakat untuk saling membantu dalam menjalani kehidupan adat istiadat di Jorong Gantiang Koto Tuo (Barek Sapikua, Ringan Sajinjiang). 8 niniak mamak (penghulu) akan di bantu oleh 8 orang niniak mamak (penghulu) muda yang berasal dari suku sekampung.
Secara historis Jorong Gantiang Koto Tuo dahulunya termasuk kedalam wilayah adat Sebuah Balai. Sebuah balai adalah wilayah adat dari Jorong Gantiang Koto Tuo, Jorong Batu Balantai dan Jorong Lubuk Aur. Sistem ini masih ada dan hidup sampai sekarang. Saat ini, di tingkat sebuah Balai Jorong Gantiang Koto Tuo di wakili oleh seorang penghulu sidang yang wilayah kerjanya berada di tiga Jorong.
Jadi jika terjadi masalah – masalah di Jorong maka masalah ini seharusnya diselesaikan secara adat di tingkat Kampuang, Umpuak, Jorong, Sidang. Dan ketika masalah tersebut tidak bisa juga di selesaikan maka masalah tersebut akan di bawa ke tingkat nagari untuk penyelesaian akhir. Dalam sistem seperti ini kepala Jorong hanya mengatur urusan – urusan yang berhubungan dengan pemerintahan. Dia sama sekali tidak dapat memerintah Niniak Mamak Salapan Kampuang.
Masalah yang timbul belakangan adalah tidak adanya pemahaman dan pembagian wewenang yang jelas antara niniak mamak (penghulu) dengan Kepala Jorong. Dalam banyak kejadian di Jorong, kekuasaan Negara justru telah menyingkirkan kekuasaan masyarakat adat. Penyebab lain dari tumpang tindihnya kekuasaan ini adalah karena orang – orang yang memiliki posisi sebagai niniak mamak (penghulu) tidak benar – benar paham dengan fungsi, tugas mereka. Selama orde baru mereka telah kehilangan energi, semangat dan inisiatif ( untuk mengatur kampung mereka sendiri). Orientasi perhatian niniak mamak lebih kepada menghidupi keluarga inti mereka bukan untuk keluarga Komunal ( peralihan nilai – nilai Komunal kepada Individual). Dulu, untuk mamak berlaku papatah : Anak di pangku, kemenakan di Bimbing. Tapi sekarang semua jauh berbeda.
Dilihat dari struktur politik sebelum 2004 (sebelum ada kegiatan Pengorganisasian di Jorong), Berbagai jabatan politis pemerintahan di pegang oleh satu suku saja yaitu suku Jambak. Setelah pendampingan posisi ini berubah dengan drastis yaitu dengan diisinya berbagai jabatan Formal di tingkat Jorong oleh berbagai suku.
Via
Arsip
Luar biasa ..sangat membantu menambah pengetahuan tentang nagari canduang koto laweh ..bagi masyarakat canduang koto laweh yg brd di nagari canduang kotolaweh ..maupun yg berada di perantauan
BalasHapus