Arsip
EDELWEIS TEMAN SEJATI
Ketika kaki lelah, letih melangkah berjalan panjang mengelili puncak cadas Merapi. Duduklah Pakiah Majenun di hamparan batu lebar yang berdebu terkena kepundan abu yang baru disemburkan dari salah satu kawah pagi itu. Nun…… jauh dibawah sana nampak hamparan luas Kota Bukittinggi, IV Angkek, Kamang, Canduang dan Baso. Jikalau di putar pandangan arah ke kiri nampaklah gunung Singgalang, Matur dan Puncak Lawang. Sungguh nikmat bila memandang dengan bashar meresapi tiap-tiap titik Alam anugrah Allah. Tidak semua mata dapat melihat Dzat Maha Pencipta, hanya insan cerdaslah yang berusaha memandang dengan “bashar Tuhannya” menemukan Pencipta dalam ciptaan-Nya.
Beban hidup, kelelahan batin telah membuat Pakieh Majenun muak dan ingin refresh berganti suasana. Ia berteriak melepaskan semua duka.
Woi………………! Haa………..h kurang ajarrrrr………! pergilah…………..! brengsek kau……..! Kau tiada arti………! Kau tidak berguna……….! Hidupmu hancur……….!
Demikian ia mencaci maki dirinya. Tebing-tebing kawah gunung melantunkan suaranya hingga bergaung memantulkan ucapan yang sama seakan-akan dikembalikan dialamatkan kembali menuduh dirinya. Ia ulang-ulang memekik melemparkan beban itu ke dinding-dinding batu itu. Suaranya terus bergema panjang entah berakhir dimana. Dia sebut semua yang menjadi bebannya….. namun batin tidak juga tenang. Lalu ia mengeluh berkata i “Mengapa aku seperti ini, umpama orang dinamisme yang tidak bertuhan saja, bantulah aku… bantulah aku tuk kuat kembali… tolonglah… tolonglah…. ” entah kepada siapa ia bicara.
Dari samping kanannya, ada suara lembut memanggil angkat bicara. Wahai saudaraku….. sabar saudaraku….. Pakiah Majenun heran, karena disitu tidak ada siapa-siapa, hanya semak-semak saja yang tenang di padang gersang. Sejurus matanya memandang terpaku pada sebatang Edelweis. Mungkinkah ia yang bersuara.. musykilnya. Kemudian Pakiah Majenun menyapanya. “apakah engkau wahai Edelweis yang telah memanggilku…”. “Benar saudaraku” jawab Edelweis. Pakiah Majenun tersenyum karena dapat kawan. Ia menghampiri membelainya.
Edelweis berkata: “ teruskanlah pekikmu, hingga bebanmu berkurang. Sekarang teriakkanlah “ Saya kagum padamu……! Kamu Sang Juara…..! Kamu berguna…….! Kamu orang sabar…..! kamu orang Ikhlas…..!” teriakkanlah saudaraku….! Lalu Pakiah Majenun berteriak bersorak memekikkan kata-kata itu. Dinding-dinding batu kembali memantulkan suara itu kembali seakan membujuk memuji dirinya. Dia mengulangnya beberapa kali hingga tenang dan bebannya hilang.
Kemudian ia bertanya: “Mengapa demikian wahai Edelweis…?”. “Itulah kehidupan saudaraku… Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu. Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita.
Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta, ciptakan kasih-sayang di hatimu. Jangan engkau benci orang-orang yang menghinamu.
Bila kau ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, maka senantiasalah memberi kepada orang yang tidak mungkin memberimu.
Bila kau ingin mendapatkan kasih-sayang Arrahman, maka senantiasalah menyayangi orang-orang yang tidak mungkin berbuat yang sama padamu.
Bila kamu ingin dibahagiakan Allah, maka bahagiakanlah orang-orang yang mengenalmu. Sesungguhnya kebahagiaan itu bukanlah terletak pada banyaknya orang yang mengenalmu, tetapi pada bahagianya setiap orang yang mengenalmu.
Bila kau senantiasa memberi, kamu tak akan rugi, malahan Allah akan menambahnya, karena setiap yang kamu beri itu bukanlah milikmu tapi titipan belaka dari Rabbmu. Bukankah apa yang ada padamu itu hanyalah hak pakai saja, bukanlah itu hak milikmu.
Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan mereka. Hidup akan memberikan kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya. Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.
Jangan pernah berharap kesenangan, berharaplah selalu pada Yang memberi kesenangan itu yaitu Allah Subhanawataala.
Pakiah Majenun terharu, butiran bening menetes dimatanya. Ia terisak lama. Kemudian berkata. “Wahai saudaraku.. maukah engkau ikut dengan ku… aku ingin selalu mendapatkan nasehatmu, ikutlah denganku… bermurah hatilah kepadaku, ikutlah denganku.. temani aku slalu”
Dengan rendah hati Edelweis berkata: “I am not skillful, not smart & not handsom. I am usuali man. Not spesfic in my self”. Sebenarnya aku tak ada apa-nya, sama saja dengan semak biasa. Aku juga tak istimewa, karena banyak bunga yang lebih indah di taman-taman kota. Jangan saudarku… jangan… bagiku tempat asalku ini yang gersang, lengang dan terisolir ini lebih aku sukai dan terasa nyaman untuk aku mengabdi sampai ajal merenggut nyawa. Lingkungan keras meranggas inilah yang telah menempa mendidikku menjadi pribadi mandiri, pemerhati, berempati, romantik, sekaligus rendah hati dan terkadang merasa rendah diri”.
“Tidak.. tidak… jangan berkata demikian wahai saudaraku… aku butuh nasehatmu slalu tuk menguatkan hatiku. Aku membutuhkannya”.
“Baiklah kalau begitu… Aku kan berikan segenap perhatian padamu, sebisa dan semampu aku pula. Beginilah aku adanya. Tidak gagah, tak cakap matematika, tak pandai pula bergaya. Tapi bila kau pandai mengajari dan mendandaniku… orang-orang kan tercengang melihatku lebih gagah daripada ‘si-Jimmi Pendekar Laut yang bekawan dengan beghuk tu’. Bila nanti kau bosan, ku rela kau tinggalkan dimana saja. Letakkanlah aku dimana kau suka. Bagiku tak masalah, karena sudah biasa hidup sengsara”.
“Kerendahan hatimu itu yang membuatku salut wahai saudaraku… marilah ikut denganku, jadilah sebagai saudaraku… kita kan saling menguatkan, saling bertaushiyah…”
Dengan penuh semangat Pakiah Majenun melangkah, irama lirik nasyid Brother “Teman Sejati” melantun jadi senandungnya dibibirnya.
...[Selama ini, kumencari-cari teman yang sejati buat menemani perjuangan suci
Bersyukur kini padaMu Illahi teman yang dicari selama ini telah kutemui
Dengannya di sisi perjuangan ini senang diharungi bertambah murni kasih Illahi
KepadaMu Allah kupanjatkan doa agar berkekalan kasih sayang kita
Kepadamu teman ku pohon sokongan pengorbanan dan pengertian telah kuungkapkan segala-galanya…
KepadaMu Allah kupohon restu agar kita kekal bersatu kepadamu teman teruskan perjuangan
Pengorbanan dan kesetiaan telah kuungkapkan segala-galanya itulah tandanya kejujuran kita]...
Salam
I am not skillful, not smart & not handsom. I am usuali man. Not spesfic in my self”. Sebenarnya aku tak ada apa-nya, sama saja dengan semak biasa. Aku juga tak istimewa, karena banyak bunga yang lebih indah di taman-taman kota. Jangan saudarku… jangan… bagiku, tempat asalku ini yang gersang, lengang dan terisolir ini lebih aku sukai dan terasa nyaman untuk aku mengabdi sampai ajal merenggut nyawa. Lingkungan keras meranggas inilah yang telah menempa mendidikku menjadi pribadi mandiri, pemerhati, berempati, romantik, sekaligus rendah hati dan terkadang merasa rendah diri
(Pakiah Majenun dan Edelweis)
Beginilah aku adanya. Tidak gagah, tak cakap matematika, tak pandai pula bergaya. Tapi bila kau pandai mengajari dan mendandaniku… orang-orang kan tercengang melihatku lebih gagah daripada ‘si-Jimmi Pendekar Laut yang bekawan dengan beghuk tu’. Bila nanti kau bosan, ku rela kau tinggalkan dimana saja. Letakkanlah aku dimana kau suka. Bagiku tak masalah, karena sudah biasa hidup sengsara
'Monisfar Kayo'
'Monisfar Kayo'
sebuah tamsil yang penuh fenomenal, dari ungkapan perasaan dan pengalaman hidup dengan sejuta makna. Ada kata-kata kunci yang sangat berarti terselip dalam alur cerita ini, petik dan mari kita ambil sebagai 'iktibar dalam menerjang gelombang kehidupan ini. Makasih ustad sudah menandai kita dalam cerita ini.......slam sukses selalu...
Bianglala Senja
Bianglala Senja
dan masih banhyak lagi pakieh majenun yg lain yg masih terseok melangkah dalam gelap malam.....tersaruk menapak jalan berliku......tertatih menempuh harapan yg tak pasti.......kapan pakieh majenun yg belum beruntung ini kan bisa bercengkrama dengan edelweis itu?????
Yuhel Yuhelman
Yuhel Yuhelman
sungguh memikat hati
Akhyar Fuadi
Akhyar Fuadi
hidup Pakiah Majnun... Kata Chairil "sekali berarti, sesudah itu mati"
Efrizen Kns
Efrizen Kns
ungkapan dari pencerminan kehidupan yang menceritakan hikayat pakieh majenun sangat mengugah hati kita agar kita jangan sampai lupa dalam menjalankan hidup ini tuk selalu menyerahkan hati kita pada Sang Maha pencipta tuk selalu dapat bimbingan dari Nya, makasih pada rekan yang telah memberikan gambaran hidup ini melalui kisaih pakieh majenun dan juga telah menandai kita di dalamnya....moga ini kan menjadikan motivasi hidup bagi kita dalam berkarya Amiiin....
Beban hidup, kelelahan batin telah membuat Pakieh Majenun muak dan ingin refresh berganti suasana. Ia berteriak melepaskan semua duka.
Woi………………! Haa………..h kurang ajarrrrr………! pergilah…………..! brengsek kau……..! Kau tiada arti………! Kau tidak berguna……….! Hidupmu hancur……….!
Demikian ia mencaci maki dirinya. Tebing-tebing kawah gunung melantunkan suaranya hingga bergaung memantulkan ucapan yang sama seakan-akan dikembalikan dialamatkan kembali menuduh dirinya. Ia ulang-ulang memekik melemparkan beban itu ke dinding-dinding batu itu. Suaranya terus bergema panjang entah berakhir dimana. Dia sebut semua yang menjadi bebannya….. namun batin tidak juga tenang. Lalu ia mengeluh berkata i “Mengapa aku seperti ini, umpama orang dinamisme yang tidak bertuhan saja, bantulah aku… bantulah aku tuk kuat kembali… tolonglah… tolonglah…. ” entah kepada siapa ia bicara.
Dari samping kanannya, ada suara lembut memanggil angkat bicara. Wahai saudaraku….. sabar saudaraku….. Pakiah Majenun heran, karena disitu tidak ada siapa-siapa, hanya semak-semak saja yang tenang di padang gersang. Sejurus matanya memandang terpaku pada sebatang Edelweis. Mungkinkah ia yang bersuara.. musykilnya. Kemudian Pakiah Majenun menyapanya. “apakah engkau wahai Edelweis yang telah memanggilku…”. “Benar saudaraku” jawab Edelweis. Pakiah Majenun tersenyum karena dapat kawan. Ia menghampiri membelainya.
Edelweis berkata: “ teruskanlah pekikmu, hingga bebanmu berkurang. Sekarang teriakkanlah “ Saya kagum padamu……! Kamu Sang Juara…..! Kamu berguna…….! Kamu orang sabar…..! kamu orang Ikhlas…..!” teriakkanlah saudaraku….! Lalu Pakiah Majenun berteriak bersorak memekikkan kata-kata itu. Dinding-dinding batu kembali memantulkan suara itu kembali seakan membujuk memuji dirinya. Dia mengulangnya beberapa kali hingga tenang dan bebannya hilang.
Kemudian ia bertanya: “Mengapa demikian wahai Edelweis…?”. “Itulah kehidupan saudaraku… Kehidupan memberi umpan balik atas semua ucapan dan tindakanmu. Dengan kata lain, kehidupan kita adalah sebuah pantulan atau bayangan atas tindakan kita.
Bila kamu ingin mendapatkan lebih banyak cinta, ciptakan kasih-sayang di hatimu. Jangan engkau benci orang-orang yang menghinamu.
Bila kau ingin mendapatkan yang lebih banyak lagi, maka senantiasalah memberi kepada orang yang tidak mungkin memberimu.
Bila kau ingin mendapatkan kasih-sayang Arrahman, maka senantiasalah menyayangi orang-orang yang tidak mungkin berbuat yang sama padamu.
Bila kamu ingin dibahagiakan Allah, maka bahagiakanlah orang-orang yang mengenalmu. Sesungguhnya kebahagiaan itu bukanlah terletak pada banyaknya orang yang mengenalmu, tetapi pada bahagianya setiap orang yang mengenalmu.
Bila kau senantiasa memberi, kamu tak akan rugi, malahan Allah akan menambahnya, karena setiap yang kamu beri itu bukanlah milikmu tapi titipan belaka dari Rabbmu. Bukankah apa yang ada padamu itu hanyalah hak pakai saja, bukanlah itu hak milikmu.
Bila kamu menginginkan tim kerjamu punya kemampuan tinggi, ya tingkatkan kemampuan mereka. Hidup akan memberikan kembali segala sesuatu yang telah kau berikan kepadanya. Ingat, hidup bukan sebuah kebetulan tapi sebuah bayangan dirimu.
Jangan pernah berharap kesenangan, berharaplah selalu pada Yang memberi kesenangan itu yaitu Allah Subhanawataala.
Pakiah Majenun terharu, butiran bening menetes dimatanya. Ia terisak lama. Kemudian berkata. “Wahai saudaraku.. maukah engkau ikut dengan ku… aku ingin selalu mendapatkan nasehatmu, ikutlah denganku… bermurah hatilah kepadaku, ikutlah denganku.. temani aku slalu”
Dengan rendah hati Edelweis berkata: “I am not skillful, not smart & not handsom. I am usuali man. Not spesfic in my self”. Sebenarnya aku tak ada apa-nya, sama saja dengan semak biasa. Aku juga tak istimewa, karena banyak bunga yang lebih indah di taman-taman kota. Jangan saudarku… jangan… bagiku tempat asalku ini yang gersang, lengang dan terisolir ini lebih aku sukai dan terasa nyaman untuk aku mengabdi sampai ajal merenggut nyawa. Lingkungan keras meranggas inilah yang telah menempa mendidikku menjadi pribadi mandiri, pemerhati, berempati, romantik, sekaligus rendah hati dan terkadang merasa rendah diri”.
“Tidak.. tidak… jangan berkata demikian wahai saudaraku… aku butuh nasehatmu slalu tuk menguatkan hatiku. Aku membutuhkannya”.
“Baiklah kalau begitu… Aku kan berikan segenap perhatian padamu, sebisa dan semampu aku pula. Beginilah aku adanya. Tidak gagah, tak cakap matematika, tak pandai pula bergaya. Tapi bila kau pandai mengajari dan mendandaniku… orang-orang kan tercengang melihatku lebih gagah daripada ‘si-Jimmi Pendekar Laut yang bekawan dengan beghuk tu’. Bila nanti kau bosan, ku rela kau tinggalkan dimana saja. Letakkanlah aku dimana kau suka. Bagiku tak masalah, karena sudah biasa hidup sengsara”.
“Kerendahan hatimu itu yang membuatku salut wahai saudaraku… marilah ikut denganku, jadilah sebagai saudaraku… kita kan saling menguatkan, saling bertaushiyah…”
Dengan penuh semangat Pakiah Majenun melangkah, irama lirik nasyid Brother “Teman Sejati” melantun jadi senandungnya dibibirnya.
...[Selama ini, kumencari-cari teman yang sejati buat menemani perjuangan suci
Bersyukur kini padaMu Illahi teman yang dicari selama ini telah kutemui
Dengannya di sisi perjuangan ini senang diharungi bertambah murni kasih Illahi
KepadaMu Allah kupanjatkan doa agar berkekalan kasih sayang kita
Kepadamu teman ku pohon sokongan pengorbanan dan pengertian telah kuungkapkan segala-galanya…
KepadaMu Allah kupohon restu agar kita kekal bersatu kepadamu teman teruskan perjuangan
Pengorbanan dan kesetiaan telah kuungkapkan segala-galanya itulah tandanya kejujuran kita]...
Salam
I am not skillful, not smart & not handsom. I am usuali man. Not spesfic in my self”. Sebenarnya aku tak ada apa-nya, sama saja dengan semak biasa. Aku juga tak istimewa, karena banyak bunga yang lebih indah di taman-taman kota. Jangan saudarku… jangan… bagiku, tempat asalku ini yang gersang, lengang dan terisolir ini lebih aku sukai dan terasa nyaman untuk aku mengabdi sampai ajal merenggut nyawa. Lingkungan keras meranggas inilah yang telah menempa mendidikku menjadi pribadi mandiri, pemerhati, berempati, romantik, sekaligus rendah hati dan terkadang merasa rendah diri
(Pakiah Majenun dan Edelweis)
Beginilah aku adanya. Tidak gagah, tak cakap matematika, tak pandai pula bergaya. Tapi bila kau pandai mengajari dan mendandaniku… orang-orang kan tercengang melihatku lebih gagah daripada ‘si-Jimmi Pendekar Laut yang bekawan dengan beghuk tu’. Bila nanti kau bosan, ku rela kau tinggalkan dimana saja. Letakkanlah aku dimana kau suka. Bagiku tak masalah, karena sudah biasa hidup sengsara
'Monisfar Kayo'
'Monisfar Kayo'
sebuah tamsil yang penuh fenomenal, dari ungkapan perasaan dan pengalaman hidup dengan sejuta makna. Ada kata-kata kunci yang sangat berarti terselip dalam alur cerita ini, petik dan mari kita ambil sebagai 'iktibar dalam menerjang gelombang kehidupan ini. Makasih ustad sudah menandai kita dalam cerita ini.......slam sukses selalu...
Bianglala Senja
Bianglala Senja
dan masih banhyak lagi pakieh majenun yg lain yg masih terseok melangkah dalam gelap malam.....tersaruk menapak jalan berliku......tertatih menempuh harapan yg tak pasti.......kapan pakieh majenun yg belum beruntung ini kan bisa bercengkrama dengan edelweis itu?????
Yuhel Yuhelman
Yuhel Yuhelman
sungguh memikat hati
Akhyar Fuadi
Akhyar Fuadi
hidup Pakiah Majnun... Kata Chairil "sekali berarti, sesudah itu mati"
Efrizen Kns
Efrizen Kns
ungkapan dari pencerminan kehidupan yang menceritakan hikayat pakieh majenun sangat mengugah hati kita agar kita jangan sampai lupa dalam menjalankan hidup ini tuk selalu menyerahkan hati kita pada Sang Maha pencipta tuk selalu dapat bimbingan dari Nya, makasih pada rekan yang telah memberikan gambaran hidup ini melalui kisaih pakieh majenun dan juga telah menandai kita di dalamnya....moga ini kan menjadikan motivasi hidup bagi kita dalam berkarya Amiiin....
Via
Arsip
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda setelah membaca blog ini dengan bahasa yang sopan dan lugas.